Studium Generale IAI Al-Aqidah Al-Hasyimiyyah: Menggali Warisan Islam dalam Manuskrip” Menonjolkan eksplorasi warisan Islam
Jakarta, Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Aqidah Al-Hasyimiyyah yang berubah bentuk menjadi Institut Agama Islam Al-Aqidah Al-Hasyimiyyah berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 1084 tahun 2024 menggelar aksi perdana dalam bentuk Studium Generale pada Sabtu,21 Desember 2024. Kegiatan yang diselenggarakan di Auditorium KH Hasjim Adnan ini mengusung tema Melestarikan Khazanah Manuskrip Melayu dan Kitab Turats dalam Perspektif Global dengan menghadirkan Assoc. Prof. Dr. Harapandi Dahri, MA yang merupakan _Senior Assistant Professor of Center for Knowledge Kolej Universiti Perguruan Ugama Seri Begawan Brunei Darussalam.
Rektor Institut Agama Islam Al-Aqidah Al-Hasyimiyyah, Dr. TGKH. Muslihan Habib, MA dalam sambutanya mengulas perjalanan dan dinamika kampus yang didirikan pada 1978 oleh KH. Hasjim Adnan.
Menurut Muslihan, awal kampus ini adalah bernama AKIDAH, akronim Akademi Ilmu Dakwah, lalu menjadi STID; Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah, kemudian menjadi PTAI; Perguruan Tinggi Agama Islam, setelah itu menjadi STAI; Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Aqidah pada 1985 sampai dengan 1987, terakhir menjadi STAI Al-Aqidah Al-Hasyimiyyah pada 2009 sampai dengan 2024. Forum ini juga sebagai perkenalan rencana program kerja sama dan pertukaran mahasiswa antara Insitut Agama Islam Al-Aqidah Al-Hasyimiyyah dengan Kolej Universiti Perguruan Ugama Seri Begawan Brunei Darussalam, ungkapnya.
Harapandi Dahri mengawali presentasinya dengan mengingatkan peserta bahwa Aqidah adalah kampus hebat, alumninya dimana-mana. “Para pejabat kementerian agama banyak alumni (kampus) Aqidah, saya sendiri dahulu sama seperti kalian, kuliah di sini. Saya alumni Al-Aqidah” tuturnya disambut riuh tepuk tangan peserta.
Seraya mengutip ungkapan ImamSyafii, orang yang tidak merasakan sulitnya menuntut ilmu maka bersiapah merasakan pedihnya kebodohan, pria yang sudah menghasilkan lebih dari lima puluh buku ini menjelaskan perbedaan buku turats dengan buku modern. Menurutnya, di antara keunikan kitab turats dengan buku modern adalah penulisnya. Penulis kitab turats tidak menuliskan namanya pada sampul karena takut riya, selalu dalam keadaan suci saat menulis, dan berdoa sebelum menulis. Ini berbeda dengan kebanyakan penulis buku modern yang menulis karyanya dalam keadaan sesukanya. “Jika ingin tau budaya Aceh, Lombok, Cirebon, Betawi, maka bacalah manuskripnya” begitu pungkas Harapandi.
Peserta nampak antusias dan semangat menikmati paparan seputar khazanah manuskrip Melayu. Sejumlah pertanyaan terkait pelestarian naskah klasik ditinjau dari kebiasaan generasi Z dan Alpha yang terbiasa dengan gawai juga dijawab dengan sangat memuaskan penanya.
Kegiatan yang berakhir meriah dan penuh makna ini diakhiri dengan sesi foto Bersama narasumber dengan pimpinan Institut Agama Islam Al-Aqidah dan para peserta.
-kmdn-